Entri Populer

Rabu, 18 Januari 2012

Pro Kontra Gelar Surabaya Kota Peduli Perempuan


Suasana di lokalisasi Dolly/dok detiksurabaya

Surabaya - Walikota Tri Rismaharini telah melaunching gelar baru bagi Kota Surabaya, Kota Peduli Perempuan. Namun gelar tersebut masih diragukan dalam implementasi di lapangan.

Alasannya, masih banyak kaum perempuan yang membutuhkan kepedulian dan rasa terlindungi. Selain itu, ada yang mengkhawatirkan, Pemkot Surabaya kedepannya tidak mampu menjalankan 'amanat' tersebut.

"Saya meragukan parameternya. Kalau kabar parameternya Surabaya sudah memberikan ruang pemberdayaan perekonomian perempuan, saya kira keamanan dan perlindungan perempuan tak sekedar di bidang ekonomi saja," kata anggota Komisi D DPRD Surabaya Yayuk Puji Rahayu, Rabu (18/1/2012).

Politisi Partai Gerindra ini mengatakan, bahwa kasus trafficking maupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih banyak terjadi di Surabaya. Selain itu, banyak kasus perceraian di pengadilan agama (PA), bahwa cenderung perempuan meminta cerai ketimbang laki-laki, yang salah satu faktornya karena KDRT.

"Kami menerima keluhan dari LSM, justru trafficking di Surabaya menunjukkan peningkatan jumlah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Harus dievaluasi lebih oleh pemkot sebagai lecutan untuk menjadikan Surabaya lebih baik," ujarnya.

Ia menambahkan, tidak boleh lupa diri dengan menjadikan Surabaya sebagai Kota Peduli Perempuan. Fakta di lapangan, menurutnya banyak perempuan yang menjadi korban trafficking hingga terjerumus menjadi pekerja seks komersial (PSK).

"Semua pihak hingga tingkat bawah RT dan RW maupun orang tua, harus bekerja keras untuk memberikan perlindungan bagi anak-anaknya supaya tidak menjadi korban kekerasan maupun trafficking," ujarnya.

Di era informasi teknologi ini, tak jarang anak-anak perempuan menjadi korban pemerkosaan, pencabulan setelah berkenalan dengan seorang pria melalui dunia maya. Yayuk menegaskan, peran orangtua juga dituntut keterlibatannya dalam pengawasan anak-anaknya.

"Kadang-kadang orangtua yang gaptek. Sementara anak-anak mengerti teknologi mereka bisa membuka seluas-luasanya situs-situs tanpa pengawasan. Ini harus menjadi kewaspadaan pemkot," katanya.

Pernyataan Tri Rismaharini tentang tersedianya pos pengaduan di setiap kelurahan atau kecamatan menurut wakil ketua bidang perempuan DPC Gerindra Surabaya ini tak menyangkalnya.

Namun menurut dia, sosialisasi yang lemah berakibat masyarakat tidak semuanya mengetahui keberadaan pos layanan pengaduan bagi kaum perempuan dan anak itu.

"Memang ada, tapi sosialisasi sangat terbatas sekali. Banyak yang tidak tahu kalau harus melaporkannya ke mana. Apalagi jumlahnya petugasnya sangat terbatas. Saya sendiri sebagai warga belum pernah melihat gerakannya. Mungkin di beberapa tempat ada yang bisa dilakukan sempurna, tapi ada yang kurang,"

Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Baktiono mengaku mendukung 'julukan' Surabaya Kota Peduli Perempuan. Tapi dirinya khawatir, jika kemudian hari, pemkot tidak bisa mengimplementasikannya.

"Ya jangan hanya sekedar lips service saja. Kalau sampai tidak bisa mengimplementasikan, akan mejadi aib bersama dan menjadi malu," kata politisi PDI Perjuangan itu.

Baktiono meminta pemkot harus segera bergerak seperti menerjunkan petugas Satpol PP di lokasi-lokasi yang menjadi tempat jujukan remaja seperti di tempat hiburan Pantai Kenjeran atau taman agar mereka jangan sampai melakukan perbuatan yang menjurus ke asusila.

"Bagaimana memberikan perlindungan terhadap anak usia sekolah, remaja, pemudi yang sering menjadi korban pelecehana seksual, trafficking dan pengawasan di tempat-tempat hiburan seperti diskotik. Kalau usianya masih di bawah 18 tahun ya harus dilarang. Terjunkan petugas Satpol PP yang jumlahnya banyak," ujarnya.

Baktiono juga berharap pemkot melakukan upaya regenerasi di organisasi PKK, bunda pendidikan anak usia dini (PAUD) maupun karang taruna. Alasannya, perempuan maupun remaja enggan bergelut di organisasi sosial kemasyarakatan tersebut.

"Regenerasinya lambat, bahkan jarang ada yang mau. Yang ikut hanya orang itu-itu saja, sampai ada yang nenek-nenek. Padahal seharusnya bisa diisi dengan pemuda pemudi. Tanpa suatu deklarasi, mereka sudah bisa bergerak sendiri," jelasnya.

Sementara itu, nada sumbang juga mengalir. Sebab wacana pemerintah menutup lokalisasi Dolly tak pernah terelasiasikan. "Kalau Dolly tidak ditutup, gelar Kota Peduli Perempuan ya omong kosong," kata seorang sopir angkutan umum yang mengaku bernama Rudi saat ditemui di depan DPRD Surabaya.

APA PENDAPAT ANDA,,,,,,,?

Tidak ada komentar: